Keniscayaan sebuah penantian. Apakah itu kamu yang setia menjadi satu-satunya?
Seindah semesta, sebening mata - milikmu. Utuh kupagut tak jera. Selamat malam, kamu; mata hati.
Mungkin tak sampai. Seikat masa ditangkai senjamu mengaburkan pesan maafku. Mungkin..
"Diantara doa dan air mata, bahagia ini kutitipkan ~ untukmu"
Di wajah pagi kupanjatkan doa-doa. Terik berlalu, gerimispun datang. Bahagia pergi, sedih bertamu. Seperti kepergianmu yang tiba-tiba.
Tapi, bagiku, kamu tak kemana. Seperti tumbuhan dalam kayu. Makin kokoh akar menghujam, makin rindang daun. Kamu hidup di bagian terdalam dari diriku; palung hati.
Pertemuan senja menggantikan terik siang. Perpisahan berjalan cepat membuang muka, dan melenggang dengan pongah luka di dadanya.
"Perpisahan dini hari. Rindu itu menaungi mendung di matanya"
Begitulah tanda yang mengemuka. Seperti menitipkan gerimis, di kedua bola mataku. Sesering sendat di dada tak kuat menampung luka, sekuat tenaga kubela sakit ini sabagai bahagia.
Luka. Selain menikmatinya, aku tak punya cara lain. Biarkan saja sampai hilang ditelan kesenyapan masa.
"Lemah gemulai, jejak rinduku menggarami lautan bibirmu."
Semoga, sejenak saja. Aku tak ingin berlama-lama menunggu masa itu; mereguk manis bahagia di bibirmu. Ketika masa itu datang, aku akan berdiam di hatimu seterusnya tanpa kenal kata pisah lagi.
Sejak napas cinta kau tiupkan, dan menghujam jantung, itulah awal bahagiaku. Tertulis di wajah pagi; dan kening senja.
Dan...
"Di setiap pagi, tulisan kebahagiaan itu menyusup embun tanpamu; hanya aku, ternyata"
Datang dan pergi. Begitulah masa lalu membiru-hitamkan tiap lembaran cerita. Dan kamu berada diantaranya, seperti malam ini, malam yang bergerimis.
Dan..
"Di tempat rebahku kini, kamu berpelangi. Selamat malam, untukmu~ entah untuk yang keberapa kali. Yang pasti, aku ingin kembali kepadamu, suatu hari nanti"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar