Selasa, 30 September 2014

Kota Tua Punya Cerita tentang Kita

26 Sept 2014, 3pm-10pm

Senja itu, kala matahari sudah lelah memancarkan sinarnya, kau dan aku membuat kesepakatan untuk bertemu satu sama lain di sana, Kota Tua. Sudah lama sejak kita bertemu terkahir kala itu. Aku dan kamu masih memakai seragam sekolah kita masing-masing, masih bertegur sapa setiap akan ke sekolah, masih bersenda gurau dalam perjalanan ke sekolah masing-masing. Namun, senja itu kita layaknya orang yang sedang bertransisi dari masa remaja ke masa kedewasaan. Tapi sayang, kita masih canggung menyikapi kedewasaan. Kita masih saja seperti remaja pada umumnya, yang masih labil serta belum menemukan jati diri masing-masing.

Semakin kita banyak kita berucap, belum tentu sebanyak itu pula perkataan yang benar. Termasuk perasaan kita masing-masing. Kau tak tahu, aku pun tak tahu. Sudahlah, belum waktunya kita membicarakan tentang hal ini. Kau dan aku masih seperti remaja yang lebih senang membicarakan hal-hal sepele daripada membicarakan perencanaan jangka panjang. Terimalah saja kenyataan itu, janganlah kau menyangkalnya.

Senja memuncak, dan berganti gelap. Itulah saat yang paling kutunggu. Tak tahu kenapa , aku selalu suka senja yang berganti malam. Sejuk, tenang, damai. Saat jingga berubah menjadi nila,kemerahan, biru, dan kemudian gelap. Itulah saat yang paling kurindukan setiap hari. Melihat ketika matahari perlahan turun, dan bulan bersiap untuk naik, senja nan anggun ada di depan mata kita. Dulu, aku pernah berharap ada yang menemani melewatkan jingganya senja yang mengayun perlahan sebelum petang, namun sekarang sudah tidak lagi. Aku sudah pernah merasakannya , setidaknya untuk kesekian kalinya :)

Ini mungkin sudah kesekian kalinya kita melewatkan senja bersama tanpa arti. Tapi senja itu ada yang berbeda. Ya, mungkin waktu dan tempat yang berbeda, tapi dengan orang yang sama. Senja yang berganti selalu disambut oleh malam yang tak pernah jera muncul di kala senja memuncak. Ah, senja memang indah jikalau dihabiskan bersama.

Pernah ada seorang teman bertanya padaku, " kau tak bosan melukiskan tentang senja dalam tulisan dan gambar?" dan aku menjawab, "ah tidak, kau belum tahu saja. Jika kau  pernah melihat senjaku yang begitu mengagumkan, kau tak akan bisa membandingkan apapun keindahan di dunia selain senjaku "

Senja tak pernah berubah sejak kala itu. Yang berubah hanya dengan siapa menikmatinya dan itulah yang menentukan keindahan dan kebahagiaan senja itu. Senja selalu sama. Mengurai semburat jingga. Tapi aku dan kamu tidak juga menjadi kita. Senja bercerita tentang yang dulunya kita berbahagia, terjatuh, bangun lagi dan berbahagia lagi. Aku disini berurai air mata jika bernostalgia tentang itu.

Kota Tua, tempat itu menjadi saksi bisu pertemuan kita kala itu. Entah kapan aku dan kamu bisa kembali kesana dan menghabiskan jingganya senja bersama lagi.





Selasa, 23 September 2014

Senja di Kota Hujan

"Hey, kau tahu kan aku begitu menyukai senja?", kau hanya memandang lurus ke depan dan tak manjawabku. Aku tak berani melirikmu. Ada degup yang terlalu kencang disini. Aku khawatir tak bisa mengontrolnya. Ayolah, ini bukan masalah besar. Aku masih menyimpan kesal karena omongan sok tahumu tentangku tempo hari. Tapi, ini tentang seonggok daging yang yang selalu beraktifitas cepat dari biasanya.

"Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini aku benar-benar tak tertarik membicarakan senja. Bahkan denganmu sekalipun...", aku diam sejenak. Ikut memperhatikan padang rerumputan yang basah oleh hujan dan sedikit tertutupi kabut. Tempat ini selalu menjadi tempat pertamaku ketika ingin mencari inspirasi menulis maupun mencari ketenangan. Aku tak begitu suka kebisingan kota, benar-benar menghambat laju imajinasiku.

Entah ini senja ke berapa semenjak aku disini. Senja di kota kecil ini kembali tak terlihat. Padahal aku sangat mendambakan bisa melihat senja lebih jelas dari ujung barat kota hujan ini. Tapi, aku rasa aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Aku lupa bahwa disini hujan datang sesuka hati. Bahkan seonggok daging yang tiba-tiba berdegup lebih kencang tadi, seketika merasa seperti ada yang menekannya, seperti ada sesuatu yang merasa hampa. Dan tiba-tiba saja ada embun disudut mata dan mulai menetes ketika senja berakhir.

...

1 tahun 8 bulan berlalu.
Semenjak pagi itu aku tak bisa melihatmu lagi, tak bisa mendengar kabarmu lagi. Akupun tak bisa menghubungimu lagi, hanya bisa mendoakanmu dari jauh.

Aku rasa kau benar. Kita harus berhenti. Berhenti membeicarakan tentang senja, tentang rasa, tentang apa yang mereka sebut cinta. Aku rasa kau benar lagi. Apa yang kita lakukan hanyalah komitmen semu, hanya memanipulasi perasaan masing-masing. 

Libur kelulusan telah berakhir dan pada akhirnya aku harus kembali ke rutinitas kehidupanku. Berkuliah dan menemukan teman-teman baru. Kamu baik-baik saja kan jika aku melupakanmu untuk sejenak? Bukan maksudku ingin begitu, tapi terkadang fikiranku terlalu penuh tentangmu. Hey kamu, aku di bogor sekarang dan kuliah di depok. Aku udah ga pake seragam lagi lho :")
Itu inginmu kan? Semoga kamu senang. Hanya ini yang bisa ku perbuat untukmu. 

...

Bogor, orang bilang ini kota hujan. Tak jauh berbeda dengan kota kecil Indonesia di ujung timur sana. Entahlah, dari dulu aku selalu di kota yang selalu identik dengan kota penuh kenangan. Lalu bagaimana seorang sepertiku bisa begitu menyukai senja? Ya, itu karenamu. Karena kamu mengenalkan padaku bahwa senja begitu indah dan begitu singkat.

Mungkin aku harus belajar dari senja. Yang dengan santainya pergi menjemput malam yang gelap dan kelam. Tak peduli apapun yang dilaluinya. Yang datang dengan tiba-tiba, pergipun dengan tiba-tiba. Menarik, seperti kamu :')


Kamis, 18 September 2014

Dini Hari

Perkenalkan, namaku Dini. Lebih lengkapnya Dini Hari. Mungkin kau sering bertemu denganku atau kau bahkan sering menyapaku, tapi perlu kau tahu aku mulai tak suka ketika ka bilang sendirian. Apakah kau merasakan keberadaanku?

Andai saja kau tahu, aku tiada lelah menemani insomnia-mu, walau sering aku jengkel saat kau mengeluhkan matamu sulit terpejam. Mungkin sekali waktu kau perlu menjadi aku, momok menakutkan bagi mereka yang takut sendirian. Agar kau pun tahu, dibalik sesuatu yang kau anggap mengerikan ada sebuah keistimewaan.

Kau tahu, aku selalu merasa senang ketika ada seseorang yang selalu merinduku, manusia-manusia berwajah cerah yang tak henti merapal do'a. Mereka bersujud penuh damai. Air mata mereka meneduhkan,dari mulut mereka tercium aroma surga. Ingin sekali aku memeluk mereka, membiarkan tubuhku menjadi sandaran keluh mereka. Keluh mereka menenangkan, berbeda dengan keluh orang lain yang mengganggu menakutkan. Terkadang aku merasa kesal jika sang Fajar datang, betapa aku tidak tau merindu lantunan do'a mereka di hadapan Tuhan.

Aku Dini,nama panjangku Dini Hari. Jika suatu hari kau bertemu denganku, janganlah kau takut. Kau tak sendiri, ada aku yang menemani saat istimewamu untuk mendekat dengan Tuhan.


Rabu, 17 September 2014

Terik Siang ini Enggan Memberi Kabar Tentangmu

Ini tentang bagaimana aku jatuh cinta padamu. Sederhana, hanya dalam satu genggaman tulusmu saat aku terjatuh. Dari dulu memang kau pengganggu dan aku yang selalu merindu. Rasa ini sungguh membelenggu sehingga ingin rasanya ku bertemu denganmu. Ah, saat-saat itu. Sungguh ingin ku mengulangnya. Disaat rinduku memuncak, kau selalu hadir di hadapanku. Tapi sekarang? Sudahlah, lupakan. 

Aku suka dibagian kamu bilang, "aku cetak banyak gol loh, di pertandingan futsal tadi. Kamu gak nonton sih, itu gol buat kamu". Kamu begitu mahir mendribel bola dengan kakimu di rumput hijau. Dan dalam genggaman dan dekapan, kamu meninggalkan kenangan seakan semua berjalan sesuai dengan keinginan.

Tapi aku benci saat menunggumu datang, berharap mentari menyemangatiku untuk terus menunggumu dan tak pernah lelah. Tapi kau tak juga datang. Aku bisa apa? Ketika terik matahari tak juga tak membawa kabar tentangmu bahkan langit senja enggan mengabarkan bagaimana kabarmu hingga tiba malam yang membisu tentang apa yang terjadi tentang harimu. Pada akhirnya, semakin aku mencintaimu, semakin aku terluka. Sekali lagi, aku tak bisa apa-apa untukmu.

Aku takut menghampiri dan kamu tidak mau memahami.Tolong kemari, aku hanya ingin berdamai denganmu sebelum kau pergi. Damaikanlah hatiku untuk sejenak saja. Tolong. Bisakah kita saling mencintai dan menyapa lagi? Bisakah kita saling mencintai bukan hanya aku yang menyukaimu? Kamu harus tahu apa yang kurasakan. Semoga kamu mengerti.


Malam Kelabu

Malam ini biasa saja. Biasa bagi sebagian mereka yang tak punya waktu untuk menyapa dunia. Mereka setiap hari asyik menatap monitor beradiasi, kesepuluh jarinya menari lincah diatas papan keyboard yang keras, dan mebiarkan secangkir teh panas menjadi dingin sama seperti dengan tatapan mereka pada langit yang temaram.

Bagiku, malam ini cukup kelabu. Penyebabnya? Ah, tak usah tanyakan itu padaku. Akupun masih menenggelamkan wajah dan segenap pikiran pada alam yang selalu terasa memeluk dari kejauhan mata. Indahnya rasi bintang bersama senyum sang rembulan sama sekali tidak mempengaruhi hatiku. Apakah aku mati rasa? Terkadang aku ingin seperti 'mereka' yang begitu acuhnya memandang langit, tegar melintasi hujan, dan tak takut terbakar teriknya matahari siang demi monitor kesayangan.

Ah, aku terlalu jauh membicarakan hal ini pada kalian semua. Sama jauhnya dengan perasaanku pada siang malam. Maafkan aku, Tuhan.